kisah, Sahabat

Sekilas tentang Muhammad alfatih

Assalamuallaikum Sobat Inspirasi

Nama Muhammad Al-Fatih tercatat dalam sejarah dunia dan terus dikenang hingga kini. Bagaimana tidak, pada tahun 1453, saat masih berusia 21 tahun, ia telah berhasil memimpin pasukan Turki Utsmani merebut kota Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium. Padahal pada masa itu kota Konstantinopel dikenal sebagai kota dengan benteng legendaris yang sangat sulit ditembus.

Kisah penaklukan kota Konstantinopel maupun riwayat kehidupan Muhammad Al-Fatih telah ditulis dalam banyak buku, bahkan sempat diangkat pula ke dalam layar lebar maupun program-program televisi. Salah satu orang yang menulis buku tentang Muhammad Al-Fatih adalah Felix Siauw. Ia begitu mengagumi Muhammad Al-Fatih sehingga menamai semua anak laki-lakinya dengan nama belakang Al Fatih 1453.

Sosok Al-Fatih memang begitu fenomenal. Semenjak usia 12 tahun ia sudah diangkat menjadi sultan. Dengan keberhasilannya membebaskan kota Konstantinopel, ia dianggap telah membuktikan hadis Nabi Muhammad SAW pada 8 abad sebelumnya dan disebut sebagai sebaik-sebaik pemimpin. Apa saja hal yang patut kita teladani dari sosok Muhammad Al-Fatih?

Dalam bukunya Ali Muhammad Ash-Shalabi menulis, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ sedikitnya menguasai tiga bahasa Islam dengan sangat baik yang biasanya dikuasai orang-orang berpendidikan pad zaman itu, yakni bahasa Arab, Persia, dan Turki.

Selain Ash-Shalabi, Ramzi Al-Munyawi dalam bukunya juga menyebutkan, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ menguasai Bahasa Yunani dan 6 bahasa lainnya ketika berusia 21 tahun. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada usia itu pulalah A-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel.

Kecerdasan Al-Fatih ini terlihat jelas dari pemikirannya yang cemerlang dalam upayanya membebaskan kota Konstantinopel. Al-Fatih memindahkan kapal-kapal dari pangkalannya di Baskatasy ke Tanduk Emas dengan cara menariknya melalui jalan darat yang ada di anatara dua pelabuhan, sebagai usaha menjauhkan kapal-kapal itu dari Galata karena khawatir mendapat serangan dari pasukan Genova.

Jalan darat yang dilaluinya bukanlah tanah yang datar, namun berupa bebukitan. Melihat kondisi demikian, Al-Fātiḥ berusaha meratakan tanah hanya dalam hitungan jam. Ia kemudian juga mendatangkan papan dari kayu yang diberi minyak dan lemak. Setelah itu papan-papan tadi ia letakan di atas tanah yang sudah rata, yang memungkinkan kapal-kapal pasukannya mudah untuk ditarik dan berjalan.

Taktik semacam itu merupakan pemikiran yang sangat cemerlang pada masa itu. Kecepatan berpikir dan kecepatan beraksi Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ memang patut untuk diteladani.

Dalam bukunya Ash-shalabi menulis, Al-Fātiḥ telah berinteraksi dengan ahli kitab sesuai dengan syariat Islam dan memberikan pada mereka hak-hak beragama. “Dia tidak pernah melakukan perlakuan jahat pada seorang pun dari kalangan Kristen,” terangnya.

Sebaliknya, Al-Fatih justru menghormati para pemimpin agama lain dan berbuat baik kepada mereka. Slogan yang pernah Al-Fatih katakan adalah, “Keadilan sebagai pondasi kekuasaan.”

Al-Munyawi mengisahkan dalam bukunya, ketika Konstantin menolak untuk menyerahkan kota Konstantinopel, Al-Fatih bersiteguh, “Baiklah! Tidak lama lagi aku akan mempunyai singgasana di Konstantinopel atau aku akan mempunyai kuburan di sana!”

Senada dengan Al-Munyawi, Felix Siauw pun bercerita melalui pesan singkat kepada kumparan, “Karakter ksatria yang paling menonjol (dari Al-Fatih) adalah keyakinannya pada bisyarah (nubuwwah) Rasulullah, hingga dia melakukan lebih dari yang lain, hingga hasilnya pun lebih dari yang lain.”

Di samping itu, Al-Fatih juga diajarkan untuk tidak berbangga dan berpuas diri. Berbekal pengajaran dari para gurunya itu, Al-Fatih kemudian menamkan sikap tawadhu atau rendah hati atas semua pencapaian dan mempelajari kekalahan sebagai pertanda kurangnya ketaatan dan usaha.

Oleh. Fathia Irhami

Tinggalkan komentar